Dendam Masa Lalu
Lautan pasifik, terbentang perairan luas nan tenang, diguyur sinar matahari terik kala ia sedang tepat di atas. Alunan dua mata pedang berdenting, melibas ketenangan dasar laut. Biota-biota laut berhamburan, ikan-ikan kecil berenang secepat mungkin saat lima-enam bom air meledak.
Perang antar kerajaan Basilon dan Karmalon. Dua kerajaan yang telah menguasai jagat lautan sejak manusia laut bermasyarakat. Bentrokan menjadi tak terhindarkan ketika hanya ada dua kerajaan yang memimpin kehidupan dasar laut. Seringkali berselisih, seringkali menghunuskan pedang. Kali ini dikarenakan perebutan kekuasaan perairan Surfiron, tetapi hal ini adalah lumrah di kehidupan dasar laut, berlomba-lomba memperbanyak daerah kekuasaan, seakan tak pernah cukup. Masyarakat laut yang tak tahu-menahu tentang perang jadi korbannya. Mereka terpaksa patuh pada siapapun yang menguasai perairan mereka.
Kedua pasukan kerajaan saling pertaruhkan nyawa untuk menggugat kepemilikan daerah. Bom-bom air dilemparkan, menciptakan ledakan gelembung air, hal itu memang terlihat tidak berbahaya tapi dapat mementalkan setidaknya lima-enam prajurit. Bersebelahan dengan pedang yang saling bergesekan, air mulai dihiasi darah segar, keruhnya air tak terhindarkan.
Patih Rama adalah panglima perang yang dimiliki Basilon. Bertubuh tegak penuh wibawa, selalu mempercayakan pertarungan kepada tombak miliknya. Sedangkan Patih Saka, panglima perang kerajaan Karmalon, tak kalah wibawanya dibanding Rama. Hanya saja ia lebih mempercayakan pertarungan kepada trisula miliknya. Mereka selalu memimpin prajurit menuju medan perang, menemani setiap bentrokan antar kerajaan.
Butuh lebih dari satu jam hingga Rama dan prajurit lainnya dipukul mundur. Karmalon berhasil menguasai perairan Surfiron.
“Bajingan kau, Saka! Dendamku akan kubalaskan di pertemuan selanjutnya! Akan kubawa prajurit yang lebih dari ini nanti, kau lihat saja!” ujar Rama kepada musuh bebuyutannya.
“Kau boleh berkata sesukamu, Rama, pasukanmu tetap tak akan mengalahkan pasukanku” jawab Saka sembari tertawa mengejek.
Lalu, Rama pun memerintahkan prajuritnya untuk pulang dengan muka tertekuk.
Sesampai Rama di markas prajurit Basilon, ia melemparkan tombaknya secara kesal. Ia tak percaya telah kalah, mulanya ia sangat yakin akan menang di peperangan tadi. Ia memutar otak untuk merencanakan peperangan selanjutnya, mulai dari berapa prajurit yang harus ia andalkan dan daerah Karmalon mana yang harus ditaklukan.
Keesokan paginya, Rama pergi menemui raja Basilon. Para manusia laut tentunya tidak tahu-menahu kapan siang dan malam, sinar matahari tak pernah sampai ke dasar laut. Mereka mempercayakan waktu kepada jam tangan yang mereka temukan di atas permukaan laut. Suka-suka mereka saja menentukan kapan siang, dan kapan malam.
Rama menggebu-gebu menjelaskan rencana selanjutnya untuk menyerang daerah kekuasaan Karmalon. Sang Raja tak pernah menunjukkan ketertarikan setiap kali Rama menjelaskan rencananya. Raja hanya mengangguk-ngangguk saja, berharap Rama segera enyah dari pandangannya. Raja bahkan selalu menyetujui apa yang diajukan oleh Rama, agar semua urusan cepat beres. Kegirangan Rama selalu tertancap di wajahnya ketika keluar dari singgasana Basilon dan langsung menuju markas prajurit. Segera ia perintahkan semua prajurit untuk melakukan persiapan untuk invasi selanjutnya.
Selama tiga bulan, ia mengamati langsung latihan prajuritnya. Bahkan ia mencari anak-anak baru yang cocok untuk bergabung dengan prajurit Basilon. Tiga bulan lamanya, ia menyusun taktik agar tak menuai kekalahan beruntun melawan pasukan Saka. Ia juga menuliskan surat yang ditujukan kepada Saka, bahwa ia akan menginvasi perairan Straton. Tak lupa ia mengingatkan Saka dan prajuritnya untuk menyambutnya.
“Lihat saja, Saka, kali ini aku akan membalaskan dendamku, bajingan!” teriak Rama dalam kesunyian ruangannya.
Lautan luas nan tenang, diguyur sinar rembulan yang tak lama lagi berganti fajar. Di saat itu, Rama dan pasukannya memulai serangan ke Straton.
“Seraaaang!!” Rama meneriakkan perintah. Seketika, lima ratus prajurit Basilon menyerang secara serempak.
Penduduk Straton yang tengah menikmati lelap, terbangun. Mereka mencoba mengerti apa yang sedang terjadi, ketika melihat ke luar jendela, mereka menonton prajurit Basilon berenang-renang menyerang prajurit Karmalon yang sudah berjaga sejak malam. Penduduk segera berlindung di bawah meja atau di bawah ranjang bersama seisi rumah, mereka mendelik ketakutan, berharap tak ada yang memasuki rumah-rumah penduduk.
Bom air dilemparkan, beberapa prajurit Karmalon yang sedang berjaga tersentak dan terlempar ke segala arah. Setelah serangan bom air, giliran prajurit yang membawa tombak meluncurkan serangan.
Saka dan pasukannya sudah siaga dan menunggu serangan sejak rembulan mulai muncul. Prajurit-prajurit telah ditempatkan di sekeliling kawasan Straton. Rama sengaja memilih menyerang saat fajar akan tiba, dengan asumsi pasukan Saka telah kehilangan konsentrasi. Alhasil, Rama mengambil keputusan yang tepat. Bukan hal yang sulit bagi mereka untuk mendobrak pertahanan Karmalon. Walaupun begitu, lebih banyak prajurit Karmalon yang menunggu di dalam Straton. Alhasil, setelah tiga puluh menit tikam-menikam, pasukan Saka dapat memukul mundur pasukan Rama.
“Hei Rama! Kau bilang akan membawa pasukan dua kali lipat?” ujar Saka.
Rama menyeringai tipis mendengar kata-kata Saka. Saka berpikir telah berhasil mempertahankan perairan Straton dan kemenangan telah digenggamannya. Yang ia tak tahu adalah masih ada lima ratus pasukan Rama yang siap mengungkung mereka.
Senyum Rama melebar sembari berkata “hapuskan rasa senangmu itu, Saka! Pasukanku ini baru setengahnya, bajingan!”
Saka mengernyitkan dahi, tak mengerti apa yang Rama maksudkan. Sesaat, ia tersadarkan sehabis mendengar teriakan prajurit-prajurit di depannya.
“Biadab! Kau tak lelah-lelahnya bertarung!” teriak Saka pada Rama, sebelum ia memerintahkan prajuritnya untuk tidak cepat-cepat menurunkan senjata. Serangan susulan tiba dan lagi-lagi menggempur perairan Straton. Pasukan Saka yang sedang terengah-engah pun dikejutkan dengan bertambahnya pasukan Rama.
Pasukan Saka menyeka peluh, walau di perairan, peluh mereka tetap mengucur. Sedangkan pasukan Rama mengganas. Penduduk Straton menggidik ketakutan di dalam rumah-rumah melihat bertambahnya prajurit Basilon. Tak sampai sepuluh menit, hanya segelintir prajurit tersisa melindungi Saka. Saka dan pasukannya terpojok.
“Menyerahlah, kau tak punya tempat untuk terus berlari, Saka!” ujar Rama.
“Tak cukupkah kau menghabisi pasukanku, Rama? Kau telah menang, apalagi yang kau dambakan?” Saka menjawab dengan suara lemah.
“Mudah sekali kau berbicara seperti itu, rupanya kau tak menghitung dendam yang telah kupendam selama ini. Dendam yang kusimpan, akibat pengkhianatanmu dulu, Saka. Kau tak pernah berpikir sedikitpun tentang itu”
“Aku tak pernah mengkhianatimu, aku tak pernah mengkhianati Basilon. Dulu ketika kita masih bersama, para tetua Basilon yang mengusirku secara diam-diam, mereka tak menyetujui hubungan kita, sehingga aku terpaksa meninggalkanmu dan Basilon. Tak pernah terbesit sedikitpun pikiran untuk pernah meninggalkanmu, Rama” Saka mencoba menjelaskan tentang dendam yang dipikul Rama.
“Omong kosong, kau telah mengkhianatiku, dan sekarang riwayatmu akan hanya sampai di sini” ucap Rama yang siap menghunuskan tombaknya.
Pasukan Saka telah dipenggal, tak satupun tersisa. Tinggal Saka seorang. Rama telah membulatkan niat, mengangkat dan melemparkan tombaknya tepat ke dada Saka. Tombak Rama menembus baju perang, menembus daging, dan mata tombaknya mencuat dari punggung Saka. Darah, peluh, dan air mata bersengkarut di perairan yang keruh.